AktualPost.com – Megengan, yang juga dikenal dengan sebutan punggahan, merupakan tradisi khas masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah dalam menyambut bulan suci Ramadan 2025.
Tradisi ini sering disebut sebagai ritual mapag atau menjemput datangnya bulan puasa, yang memiliki makna mendalam.
Kata “Megengan” sendiri berasal dari kata “megeng” yang dalam bahasa Indonesia berarti menahan. Tradisi ini mengandung pesan untuk menahan diri, baik secara fisik maupun emosional, sebagai persiapan menyambut bulan Ramadan.
Dalam bahasa Jawa, puasa dikenal dengan sebutan “Poso” atau “ngeposne rasa“, yang artinya adalah mengistirahatkan perasaan. Hal ini bertujuan agar selama menjalani puasa, seseorang tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan perasaan, seperti rasa marah, senang, atau benci, untuk menjaga keseimbangan emosi dan hawa nafsu selama berpuasa.

Pengertian dan Makna Megengan
Kata “Megengan” berasal dari kata “megeng” yang berarti menahan. Makna dari megengan sendiri adalah menahan segala hal yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan hal lainnya yang dapat membatalkan puasa.
Selain itu, megengan juga mengandung makna sebagai bentuk perlindungan atau keselamatan agar tetap terjaga dengan baik selama menjalani ibadah di bulan Ramadan.
Tradisi megengan dilakukan sebagai pengingat akan datangnya bulan suci Ramadan, di mana umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan ibadah puasa.
Secara historis, tradisi megengan merupakan hasil akulturasi budaya, yaitu perpaduan antara budaya Jawa dan Islam yang diperkenalkan oleh Walisongo ketika menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa. Tujuan utama dari akulturasi ini adalah agar ajaran Islam dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
Pada masa tersebut, masyarakat Jawa memiliki kebiasaan menghantarkan sesajen, yang kemudian diganti oleh Walisongo dengan kebiasaan mengantarkan makanan, sebagai bentuk peralihan tradisi yang lebih sesuai dengan ajaran Islam.
Kapan Megengan Dilaksanakan?
Tradisi Megengan biasanya dilakukan pada minggu terakhir bulan Sya’ban, tepatnya di antara dua bulan yang mulia, yakni Rajab dan Ramadan.
Megengan merupakan bentuk rasa syukur atas kesempatan untuk dipertemukan kembali dengan bulan Ramadan. Rasa syukur ini diwujudkan dalam bentuk makanan yang disiapkan oleh masyarakat dan dibagikan kepada orang-orang di sekitar mereka.
Sebelum pelaksanaan Megengan, sebagian orang akan melaksanakan tradisi “nyekar“, yaitu berziarah ke makam keluarga atau orang yang telah meninggal untuk berdoa dan menabur bunga sebagai bentuk penghormatan dan doa.
Acara Megengan itu sendiri biasanya ditandai dengan selametan yang dilaksanakan di masjid, mushola, atau langgar. Dalam selametan ini, berbagai makanan dikumpulkan di suatu tempat, kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh pemuka agama atau tokoh masyarakat setempat.
Doa yang dibacakan bertujuan untuk memohon keselamatan serta kekuatan dalam menjalankan ibadah puasa selama Ramadan. Setelah doa selesai, para hadirin dapat menikmati makanan yang telah disiapkan dan dibagikan pada acara tersebut.

Mengapa Apem Harus Ada dalam Megengan?
Apem, sebagai makanan ringan khas Jawa, memiliki peran penting dalam tradisi Megengan. Makanan ini menjadi simbol permohonan maaf antar sesama, yang merupakan salah satu makna yang terkandung dalam tradisi Megengan.
Dalam tradisi ini, Apem dihadirkan sebagai wujud permohonan maaf. Nama “Apem” sendiri berasal dari kata “ngafwan” atau “ngafwun“, yang dalam bahasa Jawa berarti permohonan maaf. Kue ini biasa disajikan dalam berbagai acara adat, termasuk Megengan, untuk mempererat hubungan sosial antar individu dan sebagai bentuk penghormatan sebelum memasuki bulan suci Ramadan.
Sumber: Berbagai Sumber)