Jakarta, AktualPost.com – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa lokasi tambang nikel di Pulau Gag berada sekitar 30-40 km dari kawasan wisata Raja Ampat, seperti Pulau Piaynemo. Ia menduga adanya pihak asing yang tidak senang dengan proyek hilirisasi Indonesia, sehingga memunculkan polemik terkait tambang nikel di Raja Ampat.
Bahlil menyatakan bahwa foto-foto yang beredar di media sosial menunjukkan seolah-olah tambang berada di kawasan wisata, padahal sebenarnya tidak demikian. Untuk memastikan kebenaran informasi, Kementerian ESDM akan melakukan verifikasi lapangan dan menghentikan sementara operasional PT GAG Nikel hingga proses verifikasi selesai.

Sebelumnya, Greenpeace menyoroti aktivitas penambangan nikel di Raja Ampat dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025, dengan membentangkan spanduk penolakan terhadap pertambangan di kawasan wisata tersebut. Masyarakat adat dan aktivis lingkungan juga menyuarakan kekhawatiran terhadap dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas tambang di wilayah yang dikenal dengan keanekaragaman hayati lautnya.
Tambang Nikel Ancam Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Greenpeace Indonesia mengungkap bahwa kegiatan tambang telah dilakukan di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran—daerah yang tergolong pulau kecil dan seharusnya dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.
Organisasi lingkungan ini menyebutkan bahwa eksploitasi tambang telah menyebabkan kerusakan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami, serta memicu sedimentasi di pesisir yang mengancam terumbu karang Raja Ampat.
“Kehancuran ini bukan hanya lokal, tapi berdampak global. Raja Ampat adalah salah satu ekosistem laut paling kaya di dunia,” ungkap Juru Kampanye Greenpeace Indonesia.
Tak hanya Gag, Kawe, dan Manuran, ancaman tambang juga mengintai pulau-pulau kecil lainnya seperti Batang Pele dan Manyaifun, yang hanya berjarak sekitar 30 kilometer dari ikon pariwisata Piaynemo.

Ekspansi Tambang Nikel Lain di wilayah Raja Ampat
Rencana ekspansi pertambangan nikel lainnya di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, juga menuai penolakan keras dari masyarakat adat dan pelaku industri pariwisata. Mereka khawatir bahwa aktivitas pertambangan ini dapat merusak ekosistem laut yang kaya dan mengancam mata pencaharian masyarakat lokal yang bergantung pada sektor perikanan dan pariwisata.
Salah satu perusahaan yang mendapat sorotan adalah PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP), yang telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 2.194 hektare di Pulau Batan Pelei, Distrik Waigeo Barat Kepulauan. Sejak September 2024, perusahaan ini mulai melakukan survei dan pengambilan sampel, yang langsung mendapat protes dari masyarakat adat Suku Kawei, pemilik hak ulayat di wilayah tersebut. Mereka menilai kehadiran tambang sebagai ancaman serius terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat.
Para ahli lingkungan juga mengingatkan bahwa kegiatan penambangan nikel dapat menyebabkan sedimentasi tinggi dan pencemaran logam berat di perairan Raja Ampat. Sedimentasi ini dapat menutupi terumbu karang, menghalangi sinar matahari, dan menghambat fotosintesis, yang pada akhirnya merusak ekosistem laut dan mengurangi populasi ikan. Pencemaran logam berat juga berisiko masuk ke dalam rantai makanan manusia melalui konsumsi ikan yang terkontaminasi.
Raja Ampat dikenal sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia dan telah ditetapkan sebagai Taman Geopark Global UNESCO pada tahun 2023. Ekspansi pertambangan di wilayah ini dikhawatirkan akan merusak reputasi Raja Ampat sebagai destinasi wisata kelas dunia dan mengancam keberlanjutan ekosistem laut yang unik.
Masyarakat adat, bersama dengan organisasi lingkungan dan pelaku industri pariwisata, mendesak pemerintah untuk mencabut izin pertambangan yang telah dikeluarkan dan menghentikan aktivitas pertambangan di wilayah Raja Ampat. Mereka menekankan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan mempertahankan mata pencaharian masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya alam yang berkelanjutan.
Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari aktivitas pertambangan terhadap lingkungan dan masyarakat lokal. Langkah-langkah perlindungan lingkungan yang ketat dan partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan sangat penting untuk memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak mengorbankan kelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat.